Perkebunan Sawit di Seruyan Menyebabkan Perubahan Sosial dan Ekonomi yang Signifikan

PALANGKA RAYA. Tambunbungai.com – Kehadiran perkebunan sawit di empat desa di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, telah menyebabkan perubahan sosial dan ekonomi yang signifikan bagi masyarakat setempat. Hal ini terungkap dalam forum Diseminasi Hasil Survei Lapangan yang digelar di Hotel Luwansa, Palangka Raya, pada Jumat (31/1/25). Forum ini membahas dampak sosial-ekonomi keberadaan perkebunan sawit terhadap masyarakat desa sekitar.

Survei yang dilakukan oleh Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) pada Oktober-November 2024 mencatat bahwa masyarakat di Desa Sembuluh I, Sembuluh II, Parang Batang, dan Paring Raya telah kehilangan akses terhadap lahan, hutan, dan danau yang selama ini menjadi sumber utama penghidupan mereka. Sebelumnya mengandalkan pertanian tradisional dan perdagangan hasil hutan, kini masyarakat terpaksa beralih menjadi buruh perkebunan sawit dengan penghasilan yang jauh dari cukup.

“Perubahan besar akibat alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit menyebabkan masyarakat kehilangan kontrol atas tanah mereka. Mereka hanya bisa menjadi buruh dengan keterampilan bertani yang semakin tergerus,” ujar Djayu Sukma Ifantara, Project Officer YMKL untuk Kalimantan.

Sebanyak 14 perusahaan perkebunan sawit tercatat beroperasi di empat desa tersebut, dengan izin lahan mencakup ribuan hektare yang sebelumnya dimiliki oleh masyarakat. Di Desa Paring Raya, dua perusahaan menguasai 41 persen wilayah desa, sementara di Desa Parang Batang, tiga perusahaan menguasai 49 persen lahan. Sementara di Desa Sembuluh I dan II, perusahaan-perusahaan sawit menguasai sebagian besar lahan, dengan beberapa perusahaan mengelola hingga lebih dari 70 persen wilayah desa.

Walaupun perusahaan sawit menawarkan skema kemitraan plasma, kendala utama yang dihadapi masyarakat adalah hilangnya akses atas lahan. Masyarakat yang kehilangan tanah mereka tidak dapat berpartisipasi dalam skema plasma dan terpaksa bergantung pada pekerjaan sebagai buruh sawit dengan upah harian yang sangat rendah, rata-rata hanya Rp 80.000 per hari.

Selain itu, hilangnya akses terhadap lahan juga menyebabkan masyarakat kehilangan keterampilan bertani mereka. Sebelumnya, mereka memiliki kemampuan untuk bertani secara mandiri, berburu, dan berdagang. Namun, dengan adanya perkebunan sawit, mereka kini hanya bisa bekerja sebagai buruh tanpa memiliki kemandirian ekonomi.

“Keberadaan perkebunan sawit menawarkan janji ekonomi, namun pada kenyataannya justru membuat masyarakat kehilangan hak atas tanah dan sumber penghidupan mereka,” kata Astridningtyas, staf YMKL untuk Kalimantan.

Survei YMKL mencatat tiga dampak utama dari keberadaan perkebunan sawit, yaitu: mayoritas masyarakat kini menjadi buruh dengan upah rendah, hilangnya keterampilan bertani (deskilling), dan berkurangnya diversifikasi pekerjaan karena masyarakat kehilangan akses terhadap lahan dan hutan yang sebelumnya menjadi sumber ekonomi mereka.

YMKL menekankan pentingnya kebijakan yang lebih adil untuk masyarakat agar mereka tidak bergantung sepenuhnya pada perusahaan sawit dan dapat mengembangkan kemandirian ekonomi yang lebih baik.(tb4)